STRUGGLE - DINAMIC - EQUALITY - EGALITARY - SOCIAL - RELIGY - WELFARE - LEARN - ECONOMIC - USEFUL

Minggu, Agustus 26, 2007

ADAT versus SYAR'I

Adat adalah sesuatu aturan yang umumnya diadopsi suatu masyarakat sebagai hasil dari tingkah laku, adat kebiasaan yang biasanya ditetapkan oleh para tetua-tetua atau yang dituakan. Ada beberapa adat yang mengajak kepada perubahan dan kemajuan tetapi lebih banyak adat-adat yang berada di sekitar kita tersebut menjadi beban, menjadi benalu dan onak dan duri pada kita sebagai anggota masyarakat. Adat sopan santun, hormat menghormati, gotong royong mungkin hal ini bisa kita lestarikan dan kita pupuk tetapi banyak adat yang mengganggu, merintangi kemajuan harus kita hancurkan dan kita buang jauh – jauh dari masyarakat kita maupun dari diri kita.

Adat – adat yang tidak maju, merepotkan harus kita lawan sebisa kita dan kalau bisa kita singkirkan dari diri-diri kita, dari keluarga kita dan akhirnya dari masyarakat kita. Lihat bagaimana adat – adat pernikahan yang terlalu bertele-tele, menghabiskan banyak waktu, melelahkan, menghabiskan biaya-biaya yang seharusnya tidak perlu dan bisa kita gunakan untuk hal-hal yang lebih produktif dan demi kemajuan diri kita, keluarga kita dan tentunya seluruh masyarakat. Ada istilah-istilah seperti midodareni, ada dodol dawet, ada upacara srah-srahan atau apalah istilah yang banyak sekali tersebut sesuatu yang terlalu dibuat-buat dan tidak banyak manfaat selain pemborosan biaya dan waktu, atau coba dilihat adat masyarakat minang, batak, Sulawesi yang lebih ribet lagi ritual dan persyaratannya.

Yang penting dari upacara pernikahan adalah akad nikah sebagai pengesahan secara agama dan Negara itu intinya, kalau urusan walimah atau pesta itu sedikit dan seperlunya saja sebagai sarana pemberitahuan kepada masyarakat sekitar dan sanak saudara kita itupun secukupnya jangan dibuat-buat dan merepotkan diri kita dan tujuan utama dari pernikahan sendiri itu seringkali terlupakan dari rencana-rencana hidup kita. Berapa banyak dari masyarakat yang ketika melangsungkan upacara yang megah-megahan tetapi ujung-ujung pernikahannya tidak langgeng atau bahkan hancur walau dilakukan di tanah sucipun seperti artis-artis kita bukan makna yang kita cari tetapi hal-hal kelihatan dan menyenangkan / baik menurut pandangan masyarakat saja bukan dasar syar’i lagi.

Coba juga kita lihat juga ketika ada kematian di sekitar kita, ada banyak upacara-upacara atau ritual yang harus di jalani oleh anggota masyarakat kita, yang seharusnya mereka itu menjadi pihak yang sedang kesusahan, membutuhkan pertolongan malahan dia menjadi direpotkan, keluar uang banyak yang ujung-ujungnya bukannya menghilangkan kesedihan dan menghiburnya tetapi menambah penderitaan dan kesusahan bagi keluarga yang ditinggalkan. Harus mengadakan slametan atau 7 harian, 40 hari, 100 hari, 1000 hari atau haul-haul, semua itu sesuatu hal yang tidak produktif dan bertentangan dengan agama yang menyuruh agar tidak mubadzir dan akhirnya menjadikan kontraproduktif bagi yang menghadapinya, bukannya dia berpikir untuk kemajuan dan kesejahteraan hidupnya tetapi malahan harus menyiapkan dan menyediakan berbagai hal untuk keperluan ritual-ritual tersebut. Agama itu membebaskan

Upacara kematian intinya adalah menghibur, mengurangi kesedihan dan menyampaikan sang mati sampai kubur dengan memandikan, menyolatkan, dan akhirnya menguburkan, dan tentunya sebagai anak atau keluarga yang ditinggalkan banyak berdoa karena doa merekalah yang utama menjadikan amalan jariyah sang mati yaitu sebagai anak sholeh yang berbakti dan mendoakan kedua orang tuanya dan tentunya segala kebaikan almarhum agar selalu dilaksanakan dan diteladani sampai akhir hayatnya dan bahkan ditularkan segala sesuatu yang baik juga agar amalan-amalan itu tidak putus-putus sampai nanti hari kiamat.

Dan masih banyak upacara-upacara adat lain atau aturan-aturan adat yang terlalu dibuat-buat dan mungkin hal ini menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lain. Coba lihat Tuanku Imam Bonjol yang melawan kaum adat yang memang sudah menyalahi aturan agama bahkan kaum adatpun sampai meminta bantuan Belanda untuk melanggengkan aturan dan mungkin kekuasaan yang sudah mereka pegang sejak jaman dahulu walau itu bertentangan dengan agama. Atau bagaimana Nabi SAW sendiri yang melawan adat-kebiasaan kaum kafir Quraisy yang jahiliyah atau memang kejahiliyahan ini dilanggengkan agar para suku-suku Arab tersebut tidak kehilangan kekuasaan dan penguasaan ekonomi perdagangannya dan dengan datangnya Islam memang menginginkan pembebasan dan penyetaraan manusia dari manusia lain tidak ada yang lebih rendah semua sama dihadapan Tuhan, yang membedakan cuma derajat ketaqwaannya. Memangnya kita dijaman yang modern ini akan kembali ke masa kejahilan tersebut yang bukannya mengarah kepada kemajuan tetapi malah kepada kemunduran dan kerusakan. Adat itu tirani, otoriter dan membelenggu.

Conclusion:
ADAT DIBIKIN MANUSIA BELUM TENTU BENARNYA TAPI KALAU ATURAN DARI TUHAN PASTI BENARNYA, YANG DIPEGANG BUKAN ADAT KEBIASAAN MANUSIA TAPI SYAR’INYA DARI TUHAN

FIGHT, FREEDOM, EGALITARY, & UNITY

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda