STRUGGLE - DINAMIC - EQUALITY - EGALITARY - SOCIAL - RELIGY - WELFARE - LEARN - ECONOMIC - USEFUL

Senin, November 05, 2007

Lebaran on Sundanese & Indonesian Culture

Acara weekend kali ini ikutan acara pertemuan keluarga besar di daerah Cimelati sekitar Ciawi - Sukabumi with beautiful view, dan hawanya yg sejuk.

Silaturahim, persaudaraan yg merupakan budaya negeri Indonesia pada umumnya kemarin saya saksikan dan ikuti di sebuah pertemuan keluarga dimana upaya utk saling mengenal, saling menjalin ikatan dan mengetahui kabar antar satu rumpun keluarga dengan keluarganya yang tersebar di Bogor, Cianjur, Bandung, Jakarta yg sudah mencaapi sampai 5 generasi.
Acara salam-salaman, acara hiburan, makan-makan, tausiyah, doa, sambutan dari tetua yang acaranya santai-santai saja tapi kesan dan maknanya mengena bagi kita semua.

Sikap saling tolong menolong, menghargai dan menghormati antar rumpun keluarga yg kalau di Jawa ada istilah trah atau ahlen dan mungkin di daerah-daerah lain juga ada tradisi utk tetap menjalin hubungan kekerabatan tersebut. Dulu pas sekolah ada pengetahuan ttg hal tersebut dalam mata pelajaran Sosiologi yang tokohnya Pak Selo Sumarjan yang meneliti tentang pola perilaku budaya bangsa kita tersebut. Tiap lebaran di rumpun keluarga saya juga ada kumpulan 3-4 hari setelah lebaran kumpul di rumah Paklek, Pakdhe yg secara bergilir dari Ampel - Yogya dan Solo yang kurang lebih acaranya serupa.

Upaya utk tahu, peduli, saling mengingatkan adalah upaya yg baik yang mengikuti tuntunan Qur'an dlm salah satu ayatnya : Qu anfusakum wa ahlikum naara (Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka) sudah menjadi culture dan menjiwai bangsa ini. Upaya orang2 tua kita dahulu untuk membahasakan dalam bahasa yg mudah diterima sangatlah baik dan tidak dengan bahasa yang terlalu menggurui, bahasa yang susah diterima baik kalangan bangsawan atau awam.

Tapi upaya2 tersebut tidak dipahami oleh orang2 sekarang yg tidak mengerti makna sebenarnya dari budaya tersebut. Di dalam acara-acara tersebut sarat maknanya dimana kita bisa saling silaturahim yang fadhilahnya memperpanjang umur, meluaskan rejeki, kemudian ada upaya saling mengingatkan watawa shaubil haq watawa shaubis shabr kalau saudara kita salah yang dikasih tahu, kalau saudara kita lupa yang diingatkan (fadzakkir inna fa'ati dzikra), saling mendoakan utk keselamatan, kebaikan dan lainnya dan lainnya.

Jadi jangan kita belum tahu dan mencoba memahami, mempelajari suatu budaya jangan langsung mencap bahwa suatu budaya yg baik itu menyalahi aturan agama, gak ada tuntunannya, atau bid'ah. Mungkin cuma istilahnya, caranya saja yg orang2 dahulu membuat lebih halus, lebih bisa diterima, coba saja cari makna dari sekatenan, slametan, syukuran, gamelan, pewayangan atau lainnya yang oleh para Walisongo apakah mereka itu kurang ilmu agamanya, apakah mereka bukan orang pinter, gak baca kitab2. Upaya pelurusan boleh2 saja dilakukan utk lebih memurnikan suatu ajaran, dan pakailah cara yang baik dan hikmah dan bahasa yg mudah diterima bagi semua orang bukannya bahasa yang cuma anda pahami.
Karena seringkali suatu maksud itu baik, tapi karena cara penyampaiannya yang kurang baik akhirnya maksud dan tujuan kita itu tidak sampai atau bahkan terjadi penolakan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda